akuratonline – Menghitung bulan, pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan digelar secara serentak di 270 daerah pada 09 Desember mendatang, isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) kerap menjadi sorotan.
Larangan dan sanksi ASN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil telah secara jelas menyebutkan nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh pegawai negeri sipil. Nilai-nilai dasar itu adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesetian dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, semangat nasionalisme, mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak diskriminatif, profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi dan semangat jiwa korps. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.
Lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2) menyampaikan, Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Hal senada juga terdapat dalam UU Pilkada bahwa ASN dilarang untuk terlibat dalam kegiatan kampanye serta membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon. Ada 9 (sembilan) etik ASN yang tercantum dalam SE Mendagri Nomor B/7l/M.SM.00.00/2017, yaitu PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik, memasang spanduk/baliho yang mempromosikan serta mendeklarasikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Selain itu, PNS juga dilarang menghadiri deklarasi bakal pasangan calon mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto, visi misi, berfoto bersama maupun keterikatan lain dengan bakal pasangan calon melalui media online atau media sosial.
Pengaturan Delik Pelanggaran Netralitas ASN dalam Tinjauan Hukum Materil
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pengaturan delik pelanggaran Netralitas ASN diatur dibanyak peraturan perundang-undangan, baik yang berkaitan dengan Pemilu/Pemilihan maupun yang secara khusus berkaitan dengan ASN. Dasar hukum pertama yang ingin penulis uraikan adalah dasar hukum dalam bentuk undang-undang, dikarenakan wewenang yang diberi oleh undang-undang itu merupakan wewenang murni (atributif) atau wewenang yang tidak berasal dari lembaga lain tetapi langsung berasal dari Negara -jika menggunakan teori kontrak social wewenang yang langsung berasal dari rakyat- sehingga lembaga yang mendapatkan wewenang melalui undang-undang tidak akan terganggu kemandiriannya (imparsialitasnya). Atas dasar hal tersebut ketentuan dalam undang-undang dapat mengikat lembaga apa saja atau mengikat siapa saja.
Delik pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilihan (Pilkada) yang diatur dalam undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 70 UU No. 1/2015, Namun larangan tersebut dialamatkan pada calon bukan pada ASN nya secara langsung, sehingga kalau menggunakan pasal ini yang perlu ditindak adalah calon bukan ASN nya. Pasal lain yang berkaitan dengan netralitas ASN adalah Pasal 71 UU No. 1/2015 yang berbunyi:
“Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang Membuat Keputusan dan/atau Tindakan yang Menguntungkan atau Merugikan Salah Satu Calon selama masa Kampanye”.
Dalam pasal ini jelas ASN termasuk subjek hukum yang dilarang untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye, sehingga segala tindakan ASN baik berupa policy (kebijakan/keputusan) maupun tindakan kongkrit (materiele daad) yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye merupakan delik pelanggaran pemilu. Dalam rumusan delik sebagaimana pasal 71 diatas, delik pelanggarannya dibatasi oleh limitasi waktu yaitu hanya selama masa kampanye. Artinya tindakan ASN dalam membuat keputusan (policy) dan tindakan kongrit yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon diluar masa kampanye tidak termasuk pelanggaran netralitas. Sedangkan pasal 188 dan 189 mengatur tentang ancaman sanksi pidana yang delik pelanggarannya tetap merujuk pada pasal 70 dan/atau 71 sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selain ancaman sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan pasal 70 dan/atau 71 juga diancam dengan sanksi administrasi berupa pembatalah dari calon. Oleh karenanya, menurut penulis pemberlakuan sanksi pidana bersifat ultimum remidium atau alternative sanksi terakhir setelah sanksi administrasi diberlakukan terlebih dahulu.
Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 sebenarnya sudah mengalami perubahan dua kali yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 sebagai perubahan yang pertama dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 sebagai perubahan yang kedua, namun pengaturan tentang netralitas ASN tidak mengalami perubahan secara signifikan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tidak memasukkan delik pelanggaran netralitas ASN dalam nomenklatur larangan tetapi diatur dalam prinsip (asas) dan kewajiban, namun demikian prinsip maupun kewajiban dapat juga dimaknai sebagai larangan karena siapapun yang dikenai kewajiban pasti juga dikenai larangan untuk mentaati kewajiban tersebut. Selain tidak merumuskan dalam delik larangan, UU ASN juga tidak terlalu terperinci merumuskan prinsip-prinsip maupun kewajiban-kewajiban yang mengikat ASN. Rumusan delik dalam UU ASN masih sangat bersifat umum dan membutuhkan perincian dari regulasi turunannya, karenanya penulis mengajak pembaca untuk melihat regulasi turunan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, dan peraturan turunan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah, Presiden maupun oleh kementerian. Pasal 4 PP 53/2010 secara tegas melarang PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
- Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
- Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
- Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Demikian juga Pasal 11 huruf C PP Nomor 42 Tahun 2004 juga memerintahakan PNS untuk menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Pasal ini diperinci kembali oleh surat edaran menteri Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPANRB) bernomor B/71/M.SM.00.00/2017 yaitu berupa larangan melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik, semisal:
- PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
- PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah
- PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah
- PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon/bakal pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik
- PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon pasangan calon kepala daerah melalui media online maupun media social
- NPS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan mengikuti symbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan
- PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
Ketentuan dalam SE MENPAN.RB sebagaimana diuraikan diatas, hanyalah contoh-contoh mengenai perbuatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu atau yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik sehingga tidak menutup kemungkinan, dilapangan masih ada tindakan-tindakan lain diluar butir a hingga g sebagaimana dalam S.E. diatas. Namun demikian Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 juga memberikan kriteria tentang perbuatan yang mengarah pada keberpihakan yaitu meliputi: pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri dalam lingkungan unit kerjanya, keluarga, dan masyarakat. Sehingga kedua dasar hukum diatas dapat dijadikan rujukan dalam mengidentifikasi delik pelanggaran netralitas ASN.
Sekretaris Daerah Lebong H. Mustarani Abidin, SH, MSi saat di hubungi akuratonline belum mendapatkan laporan terkait keikurtsertaan atau terlibatnya ASN Lebong dalam kancah perhelatan pemilihan Calon Kepala Daerah. Dan membenarkan sanksi berat dan administratif bagi ASN yang melanggar, tetapi untuk penanganan serta sanksi kembali kepada Pejabat Pembinaan Kepegawaian.
“Belum ada laporan adanya ASN Lebong yang terlibat, kita lihat nantinya semoga saja ASN Lebong bersih dari pelanggaran Pemilu Calon Kepala Daerah 2020”, Jelas Sekda.
Netralitas birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Bawaslu, Inspektorat, dan Sekretaris Daerah perlu melakukan upaya pencegahan untuk menimimalisasi pelanggaran ASN dalam tahapan pilkada. Lakukan pengawasan ekstra ketat seperti di media sosial dan aktifitas ASN lain yang mengindikasi pada ketidaknetralan.
Bawaslu harus menindak segala bentuk pelanggaran yang telah terpenuhi syarat formil dan materil tanpa pandang bulu. Harapannya, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dapat memberikan sanksi tegas kepada ASN yang terbukti melakukan aktifitas politik agar dapat membuat efek jera bagi ASN lainnya. (AkO)