Buzzer Saat Pilkada Menggeliat, Nyamankah…?

Advertisements

akuratonline – Buzzer dalam Bahasa Inggris berarti lonceng, alarm yang fungsinya memberikan tanda, jika dikaitkan dengan aktivitas di media sosial (medsos), buzzer bisa disebut orang yang memanfaatkan akun media sosial untuk menyebarluaskan informasi (Wiki)

Menurut Ihksan, salah satu pemerhati media sosial  yang tergabung dalam forum sosial media buatan anak negeri, biasanya para buzzer terstruktur  menjadi  3 bagian

  1. PIC dan PIC Support, tugas mereka menyusun strategi dan implementasi medsos, merancang desain sosialisasi berdasarkan sasaran, hingga mengukur efektivitas postingan.
  2. Pembuat Konten atau postingan, mereka yang akan membuat naskah untuk di-posting di akun medsos, hingga mempersiapkan pesan broadcast untuk disebar di forum-forum di instant messenger, WhatApp atau SMS.
  3. Admin dan Moderator, bertugas mengawasi isu-isu dan mempertajam isu tersebut. Mereka juga yang memantau apabila ada serangan dari pihak lawan.

Apalagi Pilkada yang digelar dalam situasi pandemi Covid-19 membuat setiap pihak memutar otak untuk bisa tetap mengumpulkan massa. Salah satunya dengan memaksimalkan kekuatan sosial media yang tak kalah kuat jika digunakan dengan baik. Tidak menutup kemungkinan, setiap calon yang maju di Pilkada 2020 bakal menggunakan ruang digital untuk melakukan kampanye.

Hal ini jelas menggelindingkan pro dan kontra, bagi peserta, tim sukses serta Badan Pengawas Pemilu. Dalam suatu perebutan kursi kepala daerah memang menginduksikan agar sportifitas pertarungan politik menjadi polemik saat ketidakadilan dalam pertarungan terjadi.

Apakah nantinya dari Lembaga Pengawasan Pemilu akan mengambil langkah-langkah seperti dibentuknya tim pengawasan siber, atau hanya menunggu laporan yang masuk. Bisa juga memberikan langkah kooperatif dengan cara mengedukasi para calon bahwa hal yang boleh dan tidaknya saat di media sosial, berharap kedepanya dapat meredam tingkah buruk yang dilakukan para relawannya.

Fenomena buzzer tidak dapat disalahkan seutuhnya, hanya saja publik yang harus dibuat lebih cerdas untuk memahami agenda para buzzer sehingga tidak terbawa narasi yang dituangkan dalam posting-posting yang mereka kerjakan.

Tingginya traffic media sosial memang sangat berpengaruh bagi oknum-oknum yang hanya bertujuan untuk membuat narasi perpecah-belahan sehingga mengganggu jalannya demokrasi.

Hal serupa seperti diungkapkan Ihksan, para buzzer dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang  substansial dari hal yang dibahas akan mengarah ke hal nonsubstansial.

“Yang harus dicermati bahwa buzzer itu seperti pengiklan, bagaimana caranya barang daganganya harus laku malah keinginanya adalah laris manis”. Ungkapnya

“Cuma yang aneh, kenapa iklan pilkada di medsos dilarang kendati buzzer masih memajang poto dan kata-kata sales dari para calon tanpa adanya aturan dalam pemberian sanksi”. imbuhnya.

Yang dikhawatirkan jika ada yang dirugikan oleh buzzer melalui narasi dan merugikan pihak tertentu, apalagi yang lebih parahn buzzer melakukan doxing, atau penelajangan identitas, alamat serta kontak pribadi semua dimuat di media sosial oleh si buzzer.

Ketentuan mengenai doxing di Indonesia salah satunya diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008. Tentu saja penyebaran informasi seseorang tak termasuk pelanggaran jika telah mendapat persetujuan orang yang bersangkutan.

Berikut kutipan Pasal 26 UU No 19/2016:

Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadiseseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.

(AkO)

__Terbit pada
13 September 2020
__Kategori
Opini, Pilkada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *